(Irfan Hidayat)
Maret 2009 saya diangkat
menjadi seorang guru di sekolah yang mungkin ada di pusat kabupaten Cianjur
namun seolah –olah terasa berada di pinggiran, Iya SMP Negeri 3 Cianjur nama
sekolahnya. Masyarakat disekitar lebih mengenal SMPN 1 Cianjur, SMPN 2 Cianjur
dan langsung ke SMPN 4 Cianjur baru kemudian SMPN 3 Cianjur. Kenapa seperti
itu, karena SMPN 3 Cianjur dulu di anggap sebagai sekolah yang apa ya, ya
sekolah yang begitulah, pilihan kedua, sehingga siswa yang masuk adalah siswa
yang mungkin tidak dapat diterima di SMPN 1, 2 dan 4 Cianjur.
Latar belakang siswa
yang masuk menjadikan stigma masyarakat akan SMPN 3 Cianjur menjadi sekolah
yang kurang baik. Stigma tersebut tertanam dalam benak siswa bahwa mereka
adalah siswa yang tersisih siswa yang dipandang sebelah mata.
Beban akan pandangan
masyarakat menjadikan siswa belajar seadanya, berangkat pagi kemudian pulang
siang hari, tanpa memberikan feel
akan belajar di sekolah. Dan tentunya
hal ini memunculkan beberapa permasalahan salah satunya adalah ku
alitas
lingkungan sekolah.
Kepedulian akan lingkungan yang belum kurang
Feeling
yang belum muncul dalam diri siswa menjadikan sense of belongings (rasa memiliki) akan sekolah belum terpatri
dalam hati siswa. Siswa seolah acuh akan kondisi lingkungan disekitar sekolah.
Merasa bahwa lingkungan sekitar bukan tanggungjawab bersama hanya tanggungjawab
tukang kebun dan penjaga sekolah saja.
Melihat permasalahan
tersebut saya mulai membentuk kelompok kecil yang terdiri atas siswa yang diberi
nama KIR (kelompok ilmiah Remaja). Kegiatan utama KIR yaitu menyuarakan gerakan
Go Green kepada siswa-siswa di kelas.
Anggota yang masuk dalam KIR menggunakan pita hijau agar menarik perhatian
siswa lainnya.
Namun ternyata gerakan kami
masih belum cukup memberikan efek yang optimum kepada seluruh warga sekolah.
Gerakan hanya menyebar kepada beberapa siswa, yaitu teman-teman siswa yang
menjadi anggota KIR saja. Saya merasa butuh dukungan agar bisa membiasakan
warga sekolah yang peduli akan lingkungan.
Gerakan saya ternyata diamati
oleh kepala sekolah. Kepala sekolah menganggap gerakan ini perlu di buat
menjadi program sekolah sehingga kepala sekolah mencantumkan gerakan tersebut
dalam budaya yang akan dikembangkan oleh sekolah, yaitu budaya malu yang isinya
yaitu :
- Malu karena datang terlambat / pulang cepat
- Malu karena malas belajar
- Malu karena bolos sekolah
- Malu karena tidak berpakaian rapi dan benar
- Malu karena tidak menghormati orang lain
- Malu karena belajar tidak berprestasi
- Malu karena berbuat salah
- Malu karena melihat teman sibuk melakukan aktivitas
- Malu karena tugas tidak dikerjakan / selesai tepat waktu
- Malu karena tidak berperan aktif dalam mewujudkan kebersihan lingkungan kelas / sekolah
Budaya malu yang diterapkan
oleh sekolah melalui kepala sekolah cukup memberikan banyak efek akan
kepedulian lingkungan. Guru – guru semakin peduli akan kondisi lingkungan dan
terus memperhatikan kondisi siswa akan kepedulian lingkungan. Namun kepedulian
siswa akan lingkungan ternyata masih belum begitu ada perubahan yang
signifikan.
Untuk mengubah perilaku
ternyata tidak semudah itu, perlu pembiasaan yang terus dilakukan secara
berlanjut agar bisa menjadi perilaku yang menjadi karakter siswa. Dari ide ini
saya mencoba mencari guru yang sefaham peduli akan lingkungan sekolah. Untuk
membuat lebih banyak lagi guru yang membantu untuk mewujudkan siswa yang peduli
akan lingkungan.
Pada awalnya tidak
banyak guru yang bisa membantu dalam program pembiasaan peduli lingkungan ini.
Kebanyakan terbentur dengan tugas utama mengajar dan tidak cukup waktu karena
selesa mengajar harus kembalike rumah untuk menyelesaikan tugas pekerjaan di
rumahnya masing-masing. Selain itu kegiatan ini sedikit biayanya bahakan untuk
honor guru atau bahkan honor guru yang membimbing peserta didik tidaklah besar
bahkan tidak ada. Karena umumnya kegiatan ini lebih kepada kegiatan sukarela.
Dalam pikiran saya, kok
sulit ya menemukan guru yang peduli akan sekolah, terutama peduli akan
lingkungan sekolah. Dimana guru membimbing siswa dengan melakukan pembiasaan
agar siswa peduli akan lingkungan.
Beberapa tahun berjalan
ternyata saya menemukan jawabannya, ternyata guru juga sama perlu pembiasaan,
terutama pembiasaan akan kesadaran bahwa guru sebenarnya memiliki peranan
penting dalam membimbing siswa untuk dapat peduli lingkungan.
Setelah guru-guru
dibiasakan untuk peduli lingkungan, makaselanjutnya tinggal menggerakan
guru-guru agardapat mebiasakan siswa untuk peduli lingkungan. Salah satu
kegiatan yang dilakukan adalah dengan pembiasaan visit class.
Setiap akhir bulan wali
kelas membimbing kelasnya dengan tema yang berbeda-beda, bulan september green class, bulan oktober clean class dan bulan november champion class. Memang program ini baru
dilakukan tahun 2018 namun ini merupakan buah dari pembiasaan yang dilakukan
kepada guru-guru kemudian ditularkan kepada siswa.
Subhanallaah, luar biasa.
BalasHapusMantap....malu melakukan hal negatif memang harus, tapi jangan pernah malu berbuat sesuatu yang positif
BalasHapusTerus lakukan pembiasan nya, insyaallaah berhasi,
BalasHapusTerus lakukan pembiasan nya, insyaallaah berhasi,
BalasHapus